Thursday, 22 October 2020

Status Mensosmu

Akan tiba saatnya nanti, semua temanmu akan melihat namamu offline.


Mereka mengirim pesan lewat WhatsApp, tapi kamu tak menjawabnya.

Mereka chat di Messenger, tapi kamupun tak mampu membalasnya.


Pada hari itu, postinganmu tiba-tiba saja terhenti, tidak lagi update.


Kenapa ?


Karena saat itu kamu telah pergi meninggalkan dunia ini.


Ya, Kamu tidak akan pernah online lagi, tidak mampu reply chat, ataupun berkomentar pada postingan teman temanmu


Kamu tak lagi bisa mengedit statusmu atau postinganmu, atau sekedar meminta maaf kepada orang yang pernah kamu sakiti karena omonganmu.

Semua sudah  terlambat....


Ya, kamu sudah tak lagi bersama mereka.


Pada hari itu, kamu sedang terbujur sendirian di lubang kubur sempit dan terhimpit, sendirian menghadapi ujian.


Dan ketika kamu telah pergi, yang tertinggal hanyalah huruf - huruf di postinganmu.

Semua itu akan menjadi pembelamu atau mungkin malah akan membinasakanmu di alam sana.


Maka dengan itu, tulislah yang baik-baik saja saja, walaupun kita belum baik.

Sekurang-kurangnya kita terselamatkan dari dosa menulis yang buruk.


Tulislah yang baik-baik saja, bukan karena kita orang baik.

Tapi kita berusaha untuk menjadi baik.


Tulislah yang baik-baik saja, karena kita tahu itu perkara baik.

Dan apabila kita berikan yang baik, maka mudah mudahan perkara yang baik itu kembali

kepada kita.


Tulislah yang baik-baik saja, karena kita mau yang baik-baik itu yang tertinggal, apabila kita sudah pergi.


Bicaralah yang baik baik saja,

Tulislah yang baik-baik saja.


Karena yang baik itu semuanya bernilai ibadah. 

Walaupun hanya sekadar Copas, senyum ataupun bersangka baik.


Berusahalah menjadi orang yg bermanfaat bagi orang lain, meski cuma sebatas tulisan sederhanamu.


Jangan menjadi penyebab orang lain bertambah lebih buruk, karena ketikan jari jemarimu.


#pengingatdiri

Ibuku Orang Gila

 Sini, Fem ! Gabung sama kami." Seru Mbak Nita sembari melambaikan tangannya ke arahku.


Aku mendekati mereka sembari tersenyum. Sedang ibu hanya memandangiku yang kelelahan.


"Barusan ada telepon gelap. Isinya ancaman. Katanya, mata-mata kita yang ada di Bu Anggun akan mereka bunuh. Ibu paham maksudnya apa ?" Tanyaku pada ibu.


Ibu terlihat sedikit terkejut lalu air mukanya kembali tenang.


"Mata-mata ibu ya Nita ini. Dan mungkin akan muncul lagi seorang." Jawab ibu.


Aku mengerling pada ibu. Seorang mata-mata lain akan muncul ? Siapakah sosok yang akan muncul itu ?


"Oh ya, Nit. Bagaimana kabar Koco ?"


Ibu memandang cemas pada Mbak Nita. Sedang Mbak Nita membetulkan letak duduknya lalu badan agak dicondong ke depan.


"Sepertinya dia sudah menemukan apa yang selama ini mama sembunyikan. Hanya masalah waktu saja dia akan merapat ke pihak kita. Yang pasti dia sedang syok. Beberapa kali dia terlihat agak menjaga jarak dengan mama." Jelas Mbak Nita setengah berbisik.


"Mbak Nita ke sini sama siapa ?" Tanyaku setelah ingat ada sosok mencurigakan di depan sana.


"Sama intel sewaanku. Masihkah dia berjaga di luar ? Itu tuh yang pakai jaket hitam."


"Ohhh yang pakai topi warna coklat itu ?" Tanyaku.


"Iya, betul."


Aku mengehela nafas lega. Aku takut dia anak buah Bu Anggun. Mbak Nita sedang asyik memainkan ponselnya hingga mendadak dia berdiri dengan mata melotot.


"Fem ! Kamu sudah baca ini ?" Kata Mbak Nita sembari mengarahkan ponselnya ke arahku.


"Hah ?? Apa maksudnya ini ?" Tanyaku tak mengerti.


"Tahu Pak Yusuf, bloger kuliner ternama nasional ? Dia ingin menantang mama juga kamu untuk duel terbuka membuat roti . Katanya ini adalah salah satu cara untuk membuktikan siapa penjiplak dan pemilik asli dari resep roti kalian. Wow ... gak nyangka banget akan menuai reaksi begini dahsyat dari bloger terkenal. Bagaimana, Fem ?"


"Aku terserah ibu." Jawabku datar.


"Apa Anggun sudah menerima tantangan ini ?" Tanya ibu.


"Tampaknya mama belum menjawab. Ini momentum kalian. Aku yakin saat kalian menerima tantangan ini, mama pun tak akan bisa mundur. Ini pernyataan perang kita pada mereka !" Kata Mbak Nita berapi-api.


Ibu mengangguk padaku. Rupanya tantangan terbuka ini diterimanya dengan senang hati.


"Bagi link-nya. Aku mau menjawab tantangan ini." Kataku bersemangat.


Dan dalam waktu singkat Fem-Nur Bakery menyatakan kesanggupannya untuk duel terbuka dengan Anggun Bakery. Dan komentarku itu langsung mendapat respon luar biasa dari warganet. Tapi lama kami menunggu, pihak Anggun Bakery masih bungkam. Aku yakin Bu Anggun sedang kebakaran jenggot sekarang. Lalu setelah agak lama menunggu, sebuah jawaban muncul di sana. Anggun Bakery menyatakan kesediaannya untuk berduel. Kami bertiga melonjak-lonjak bahagia. Bertiga kami membahas strategi untuk menghadapi Bu Anggun.


"Jadi ... bisa dikatakan, mama tak pernah ikut membuat roti. Dia hanya memegang sesekali manakala chef utama kami sedang cuti. Nah karena ini duel berpasangan, kemungkinan pasangan mama adalah Chef Arya."


"Kalau Bu Anggun tak pernah mengadon, darimana Chef Arya itu belajar resep roti yang sangat sulit itu ?" Tanyaku penasaran.


"Chef Arya itu profesional yang sangat mumpuni. Setahuku dia mempunyai basic dunia roti yang kuat. Jadi hanya bermodal buku resep yang telah mama curi dari ibuk, dengan mudah Chef Arya mempelajarinya."


"Bisa aku bayangkan betapa repotnya Anggun bila kehilangan Arya itu. Lalu adakah chef lain yang bisa diandalkan selain Arya itu ?" Tanya ibuku.


"Hampir bisa dikatakan tidak ada. Yang lain hanya membantu saja. Tak ada yang tahu cara membuat roti dari awal." Jawab Mbak Nita.


"Lalu resep roti apa yang akan kita bawakan ?" Tanyaku bingung.


"Ibu tahu, Nak. Ada satu resep yang Anggun tahu tapi tidak ada di daftar roti Anggun Bakery. Kita buat itu dan dua resep roti andalan Anggun Bakery. Bagaimana ?"


Aku dan Mbak Nita mengangguk-angguk setuju.


~~~~


Aku menghela nafas dalam. Mengosongkan paru-paruku dan mengganti dengan udara yang segar. Duel berpasangan ini dilaksanakan di area taman terbuka dengan latar belakang pemandangan pegunungan yang berderet rapi. Setidaknya suasana nan asri ini bisa membuat hatiku lebih tenang. Maklum inilah kali pertamaku membuat roti di depan umum setelah tanganku hancur.


Wara-wiri awak media lokal maupun nasional sibuk dengan persiapan masing-masing. Beberapa kamera siaran langsung pun berderet rapi di depan panggung minimalis. Di sana terdapat dua meja panjang dengan segala peralatan untuk kami membuat roti. Jantungku tak karuan manakala melihat panggung itu. Perasaanku sangat gugup mengingat itu bukan hanya sekedar panggung bagiku. Tapi medan perang.


Dari kejauhan aku melihat Bu Anggun telah tiba di lokasi. Dia mengenakan baju putih khas chef profesional. Berbanding terbalik dengan penampilan kami yang "merakyat". Ibu memakai hijab, sedang aku hanya memakai ikat kepala dan berkaos sederhana. Ini bukan ajang perang penampilan tapi perang keterampilan. Mata sinis Bu Anggun sungguh mengintimidasi. Tapi aku dan ibu sudah membulatkan tekad.


"Tolong untuk kedua peserta duel terbuka berpasangan, silahkan menyiapkan diri masing-masing pada tempat yang sudah dipersiapkan." Kata seorang kru.


"Aturan mainnya adalah di sini kami mengundang 50 orang juri dari berbagai kalangan dan latar belakang. Mereka yang akan mencicipi roti dari masing-masing peserta dan menilai dengan memasukkan kode peserta ke dalam toples ini. Dan setiap peserta wajib membuat dua macam roti yang akan kami undi sebentar lagi. Selain dua macam roti yang telah ditentukan, peserta wajib membuat roti dengan varian baru sebagai resep roti inovatif. Dan untuk roti inovatif ini, peserta bebas memilih dan menentukan resep sendiri. Jadi nilai maksimal untuk peserta adalah 150 poin untuk tiga macam roti. Sekian infonya." Kata kru yang tadi.


"Dan Pak Yusuf selaku penggagas acara duel terbuka berpasangan antara Anggun Bakery dan Fem-Nur Bakery, telah menentukan roti apa yang akan dibuat. Dan inilah jenis rotinya. Roti yang pertama adalah roti susu dengan isian coklat lumer dan susu. Sedang yang kedua adalah roti sobek dengan isian 5 variasi yaitu ayam, daging, coklat, kacang hijau dan selai stroberi. Untuk itu, waktu akan dimulai pada hitungan ketiga. Satu ... dua ... tiga ! Silahkan dimulai !"


Aku dan ibu cukup santai. Kedua roti itu adalah roti andalan kami. Setiap hari kami membuatnya. Tentu itu bukan hal yang terlalu sulit. Tapi kami tak boleh gegabah. Bu Anggun dan Chef Arya merupakan saingan yang berat. Tak seharusnya kami meremehkan mereka. Tangan dan pikiran kami fokus ke adonan. Setiap resep, kami harus membuat sekitar 55 buah roti. Tentu saja roti yang 5 itu adalah roti cadangan. Silih berganti kami membuat adonan.


Dan selesailah kami membuat dua macam roti tadi. Dan kami melaluinya dengan lancar. Dan bisa dibilang sukses. Aku melirik Bu Anggun. Walau terlihat agak kerepotan akhirnya mereka rampung juga. Dan inilah saat mendebarkan kami. 50 orang yang hadir kini muli berbaris di depan meja. Tumpukan roti yang masih mengepul hangat mulai berkurang satu persatu. Dan hatiku begitu bahagia manakala 5 roti yang aku siapkan untuk cadangan ternyata ikut ludes juga. Aku tersenyum senang.


Satu persatu para juri memasukkan suaranya ke toples penilaian. Dalam hati aku menghitung berapa banyak nilai yang ku kumpulkan. Tapi hatiku berakhir dengan kecewa. Dari 100 nilai, aku dan ibu mendapat total nilai 41. Itu berarti pihak Bu Anggun mendapatkan suara 59. Selisih yang cukup besar. Dan entah kenapa melihat senyum kemenangan Bu Anggun membuatku terpuruk.


"Tetaplah jaga semangatmu. Ini bukanlah akhir. Lihatlah, bersaing dengan toko yang sudah memiliki nama besar jarak selisih kita sudah cukup bagus. Itu berarti kehadiran kita sebagai pebisnis baru di ladang dunia roti ini sudah terbilang sukses. Jangan berkecil hati. Kita belum kalah. Ibu yakin di resep ketiga ini, kita akan menang telak." Kata Ibuku dengan tatapan mata penuh kepercayaan diri.


Melihat semangat ibu yang masih membara, aku menjadi lebih bersemangat sekarang. Aku harus bisa menjadi partner yang hebat untuk ibu. Kalau kami kalah, setidaknya kami kalah dengan terhormat.


Babak kedua kini akan di mulai. Aku melihat ibu mengeluarkan jamur dan sayuran dari bawah meja. Dengan sedikit heran aku melihat dia sibuk membuat isian untuk roti ketiga kami. Dan aku masih bertugas untuk membuat adonan. Bau harum dari sayuran dan jamur itu sungguh menggugah selera. Setelah selesai membuat isian, ibu menurunkan oven. Lalu dia menyalakan kompor. Diratakannya adonan rotiku dengan membuat setengah lingkaran. Lalu dengan sigap, ibu mulai memberi adonan itu isian. Aku hanya memandang heran. Ibu membuat roti dengan isian sayur dan jamur tiram. Sungguh terasa asing bagiku. Aku melirik meja sebelah. Di sana menguar aroma roti yang harum . Sedang ibuku bukannya memasak dengan oven. Melainkan dengan dipanggang di atas panggangan dari tanah. Aroma roti yang agak sedikit terbakar itu kini berubah menggugah selera. Aku menelan saliva, ada rasa lapar yang menyelimuti perutku. Sarapanku tadi pagi bagaikan tersedot oleh aroma roti panggang ibu. Beberapa wartawan pun sibuk memotret dan mengambil video ibu.


"Kalau boleh tahu, roti apa yang sedang Anda buat, Bu Femnur ?" Tanya seorang juri.


"Ini adalah roti legendaris di hidup saya. Namanya adalah Roti Isi Kenangan." Kata Ibu pelan.


"Waaaaah ... nama yang sangat unik. Kalau boleh tahu apa yang membuat Anda menamainya demikian ?" Tanya wanita itu lagi.


"Ini adalah roti yang selalu saya buat untuk adik saya. Setiap kali dia pulang dari kebun, roti ini selalu saya sediakan untuk dia. Berdua kami duduk di depan tungku api sembari memanggang roti dengan menggunakan genteng tanah liat. Sembari menunggu roti matang, kami berdua bersenda gurau sembari berbagi cerita tentang cita-cita kami di masa depan." Kata Ibu sembari terhanyut dalam buaian kenangan masa lalu.


"Lalu dari mana ide ini berasal yang membuat Anda berkreasi dengan membuat roti dengan isian sayuran dan jamur ?" Tanya seorang wartawan.


"Isian ini saya buat dari bahan-bahan seadanya di dapur rumah sederhana kami. Kami dapatkan sayuran ini dari kebun belakang dan jamur dari tempat ibu bekerja." Kata Ibu tenang.


"Waaaah ... sungguh beruntung sekali adik Anda itu karena mempunyai kakak yang begitu sayang dan perhatian padanya. Sungguh kreasi yang menakjubkan." Kata wartawan pada ibu.


"Terimakasih. Ini adalah roti pertama setelah bertahun-tahun lalu tidak saya buat." Terang ibu.


"Kenapa tak Anda pasarkan saja di toko roti yang kini Anda rintis ?" Tanya salah seorang juri pria.


"Karena roti ini berisi kenangan indah masa muda yang telah saya lewatkan dengan adik saya. Bisa saya katakan, ini adalah roti milik kami. Jadi saya hanya akan membuatnya kalau ada adik saya di sini." Kata ibu sembari tersenyum manis pada kamera.


"Berarti saat ini adik Anda sedang di sini ? Bisa kenalkan kami padanya ?" Tanya wartawan pada ibu.


"Iya dia ada di sini. Tapi sayangnya dia tak bisa menemui Anda semua. Karena sifatnya yang pemalu juga kini dia sedang sakit." Kata ibu.


"Waaaah sayang sekali, ya ? Kalau boleh tahu, adiknya sakit apa ?" Tanya juri pria berjas hitam.


"Adik saya sedang amnesia. Dia kehilangan ingatannya. Dan tentu saja ingatan tentang masa-masa kami muda dulu juga ikut terhapus dari memorinya. Jadi inilah kenapa saya membuat roti ini, karena berharap ingatan yang hilang dari adik saya bisa kembali pulih." Kata ibu sembari melirik Bu Anggun.


Bu Anggun pura-pura tak mendengar. Tapi jelas terlihat sekali dia gemetar. Tangannya bergetar hebat bahkan sendok gula yang dia pegang pun terjatuh. Oh ... jadi ini jurus pamungkas yang ibu katakan ? Tapi aku kagum dengan ibu. Walau adiknya pernah ingin melenyapkan nyawanya, ibu tetap bisa menjaga reputasi Bu Anggun. Andai itu aku, pasti dengan lantang akan aku bongkar semua kejahatan Bu Anggun pada media. Mumpung para wartawan banyak berkumpul di sini.


Dan sesi paling mendebarkan pun terjadi. Proses penilaian dari juri pun berlangsung. Banyak orang yang mencicipi roti buatan ibu. Mereka penasaran dengan rasa roti yang dipanggang di atas panggangan tanah. Macam-macam reaksi orang, ada yang bilang roti jadul yang sehat. Ada yang bilang roti unik nan lezat. Bahkan tak sedikit yang membujuk ibu agar memproduksi roti isi kenangan itu di toko kami.


Dan inilah penghitungan finalnya. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Nasib kami benar-benar bergantung dari hasil penilaian resep ketiga ini. Dan kini Pak Yusuf sudah berdiri di depan panggung. Bersiap untuk membacakan hasilnya pada kami semua. Aku menahan nafas.


"Ya ... inilah hasil perhitungan kedua babak pada hari ini. Babak pertama dengan dua resep. Hasilnya adalah Anggun Bakery memiliki poin 59 dan Fem-Nur Bakery memiliki poin 41. Sedang untuk babak kedua dengan resep roti inovatif, pemenangnya adalah Fem-Nur Bakery dengan jumlah poin 35. Jadi Anggun Bakery memiliki 15 suara. Dan untuk juara umumnya, jumlah total poin 150. Anggun Bakery mendapat total poin 74. Sedang Fem-Nur Bakery memiliki total poin 76. Dan bisa kita simpulkan bersama, kemenangan event hari ini diraih oleh Fem-Nur Bakery dengan selisih poin sangat tipis yaitu 2 poin. Sungguh persaingan yang sangat ketat ya ?" Kata Pak Yusuf takjub.


Aku dan ibu sontak berpelukan bahagia. Tak menyangka kami bisa menang dengan selisih sangat tipis itu. Tapi di babak kedua kami menang telak. Resep rahasia ibu memang luar biasa. Alhamdulilah !


~~~~


Setelah acara penyerahan hadiah, aku tak melihat batang hidung ibuku. Aku mencari ibu ke mana-mana. Tapi tak jua ku temukan. Tapi akhirnya aku melihat ibu berdiri di bawah pohon besar yang terletak cukup jauh dari area kompetisi. Dengan langkah mengendap-endap aku mendekati wilayah itu. Tampak Bu Anggun sedang berkacak pinggang membelakangi ibuku. Lalu saat dia berbalik, aku menahan nafas. Bu Anggun menangis ! Aku yang makin penasaran, merayap makin mendekat ke tempat itu.


"Sekarang kamu puas, Mbak ? Puas sudah menghancurkan aku ?" Kata Bu Anggun.


"Aku sedang tidak menghancurkanmu, Nggun. Tapi menyelamatkanmu dari apa yang bukan milikmu. Rasa serakah yang kau miliki membuatmu melewati batas. Bila kau lanjutkan kesalahanmu itu, masih pantaskah kau disebut manusia ?"


"Biar saja aku melewati batas, Mbak. Tapi ini adalah pilihan hidupku. Kau tak pernah tahu dalam hatiku. Hatiku begitu tersiksa dan terluka karena kau !" Kata Bu Anggun sembari menuding ibuku.


"Apa salahku hingga membuatmu begini ? Tak sadarkah kau, kalau kita ini saudara ? Kita berasal dari nutfah dan rahim yang sama. Kita tumbuh di atap rumah yang sama. Tapi kenapa kau mencoba mengingkarinya ?"


"Basi sekali kau ungkit soal persaudaraan kita sekarang. Andai aku bisa memilih, aku tak mau menjadi adikmu. Tak sudi aku menjadi saudaramu. Tadi kamu juga sengaja kan ? Membuat roti kenangan itu ? Sengaja memojokkanku dengan bilang kalau aku ini amnesia ! Hatimu kejam, Mbak !" Seru Bu Anggun dengan wajah seramnya.


"Justru aku melindungi reputasimu, Nggun. Aku tak membuka semua kejahatanmu."


"Halaaaah ! Aku tau kau hanya pura-pura, Mbak. Dari dulu kau selalu begitu. Pura-pura baik agar semua orang menyukaimu dan mengasingkan aku !"


"Aku tulus sayang padamu ! Aku tak bersandiwara !"


"Bohong ! Mentang-mentang kau penyakitan, ibu lebih memilih menyuruhku ke ladang. Ke kebun mencari kayu. Ke kali mengambil air dan mencuci. Sementara kau di rumah saja. Berteduh dari panas dan hujan. Sedang aku berpeluh kepanasan. Dan menggigil kedinginan karena hujan. Aku membawa dua kendi penuh berisi air, kau hanya duduk di rumah bebas mandi dan membuang air sesukamu. Aku dekil dan kotor, kau bersih dan terawat. Kau cantik bak putri raja, aku jelek bak pembantu buangan. Apa aku salah, bila meminta sedikit bagian bahagiaku ??"


Aku terduduk lemas mendengar semua penuturan Bu Anggun. Tak ku sangka dia memiliki luka mendalam di usia yang muda.


"Dan tahu apa yang membuat pertahanan terakhirku runtuh ?? Saat ibu Mas Indro Sukoco lebih memilih menjodohkanmu dengan anaknya ketimbang aku yang jelek rupa ini. Bahkan kau pun tahu, kalau aku ada rasa pada Mas Indro. Tapi apa ? Tanpa peduli sudut hatiku yang terluka, aku melihatmu tersenyum tersipu malu sembari mengangguk tanda kau terima pinangan keluarga Indro. Aku sakit, Mbak ! Alih-alih diriku yang sehat dan lincah menjadi istri Indro, kau yang pintar memasak lah yang menarik hati Indro. Tanpa mereka tahu, kau bisa memasak karena air yang ku bawa susah payah dari sungai. Kau bisa tetap berkulit bersih karena semua yang aku lakukan di ladang. Kau bisa memasak enak karena kayu bakar yang aku kumpulkan ! Kau bisa bertengger di posisi itu karena peluh keringatku ! Sekarang kau mengaku kalau kita bersaudara ?? Tak tahu diri sekali dirimu !"


Ibu langsung jatuh terpuruk. Air matanya berlinang. Bibirnya bergetar hebat. Mungkin selama ini ibuntak tahu perihal hati adiknya. Mungkin ibu berpikir adiknya baik-baik saja. Tapi diam-diam adik semata wayangnya terluka dalam hening. Badan ibu bergetar tak karuan. Antara marah,penyesalan juga kesedihan yang teramat dalam.


"Itukah kenapa kau tega berniat membunuhku ? Hingga kau tega menabrak Indro hingga dia amnesia ? Lalu tanpa ampun kau ingin menghancurkn anakku ? Lalu tanpa rasa bersalah kau hidup mewah di istana dengan resep-resep curianmu?" Kata ibu pelan sembari air mata mengalir deras.


"Ahahahaha ... asal kau tahu, aku sudah berusaha untuk main halus pada kalian. Aku mencoba berbagai cara untuk memisahkan kalian. Aku rela hidup bak budak buangan, tapi hatiku tak rela bila lelaki yang paling ku inginkan kau rebut juga. Bahkan aku pun bisa membunuh ibu Mas Indro Sukoco. Menurutku berawal dari wanita peot itulah tragedi ini terjadi. Andai dia tak berniat menjodohkan kalian, aku yakin semua tak akan menjadi seperti ini. Tapi rupanya diam-diam kalian menikah siri dan berniat pindah ke kota . Tentu saja aku makin kalap. Tapi aku tak menyangka dalam perutmu sudah ada janin dari Indro Sukoco itu. Itulah kenapa, walau aku masih ada rasa cinta pada Koco tapi aku perlakukan dia bagai anjing. Karena aku dendam padanya yang lebih memilihmu daripada aku."


Aku melongo luar biasa. Jadi ini cerita lengkap kisah piluku ? Jadi benar bila ayahku Indro Sukoco ? Jadi Pak Koco itu amnesia ? Ya Allah ... Bu Anggun sungguh mengerikan. Tapi hal mengerikan lainnya rupanya sedang terjadi. Tak jauh dari tempatku bersembunyi ternyata ada sosok lain yang berdiri di sana. Matanya memerah bak singa marah. Tangannya terkepal kuat seakan-akan menunjukkan betapa marah dan emosi dirinya. Dan dari semak tempat ku bersembunyi, aku menggigil ketakutan. Aura menakutkan dan mencekam menyelimuti area itu. Lututku bergetar saling bersentuhan saking takutnya.


~~~~BERSAMBUNG~~~~

Friday, 9 October 2020

ZAKAT YANG TIDAK SAH

stadz Ammi Nur Baits

    

Ada orang yang baru keterima kerja. Gaji pertama 5 jt/bln. Setiap kali dia mendapat gaji, dia zakati 2,5%.


Alasannya, dari pada zakatnya diakhirkan, lebih baik dicicil setiap bulan. Jadi tabungannya semua sdh dizakati. Sehingga, nanti tidak perlu dizakati. Katanya, ini zakat profesi.


Apakah zakatnya benar? mohon pencerahnnya..


Jawab:


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,


Zakat, tidak seperti sedekah atau infak yang sifatnya anjuran. Zakat itu kewajiban yang ada ukurannya. Islam memberikan aturan khusus untuk zakat. Sehingga, tidak semua bentuk memberikan harta kepada fakir miskin, bisa disebut zakat.  Memberikan harta kepada fakir miskin hanya bisa disebut zakat, jika memenuhi aturan zakat. Jika tidak sesuai aturan, itu bukan zakat.


Sebagaimana shalat, di sana ada rukun dan syarat. Jika itu shalat wajib, di sana ada ketentuan mengenai waktu pelaksanaan. Orang hanya boleh shalat subuh, setelah terbit fajar shodiq. Orang yang shalat 2 rakaat 5 menit sebelum terbit fajar, tidak disebut shalat subuh, meskipun dia niat untuk shalat subuh.


Ketentuan umum zakat, dinyatakan dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ


Jika kamu memiliki 20 dinar, dan sudah genap selama setahun, maka zakatnya ½ dinar. Lebih dari itu, mengikuti hitungan sebelumnya. (HR. Abu Daud 1575 dan dishahihkan al-Albani).


Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya nishab dan haul untuk zakat mal. Dan ini aturan baku. Siapapun tidak dibenarkan untuk membayar zakat dengan aturan berdasarkan inisiatif pribadi. Karena ibadah itu wahyu dan bukan berdasarkan inisiatif manusia.


Nishab, Sebab Wajibnya Zakat


Nishab adalah batas minimal harta yang wajib dizakati. Selama seseorang belum memiliki harta satu nishab, tidak ada kewajiban zakat baginya. Karena itu, membayar zakat sebelum nishab, sama dengan membayar zakat sebelum ada sebabnya. Para ulama meng-analogikan ini seperti orang shalat sebelum masuk waktu.


Untuk itulah ulama sepakat tidak boleh membayar zakat sebelum memiliki harta satu nishab.


Ibnu Qudamah mengatakan,


ولا يجوز تعجيل الزكاة قبل ملك النصاب بغير خلاف علمناه ، ولو ملك بعض نصاب فعجل زكاته أو زكاة نصاب : لم يجُز ؛ لأنه تعجَّل الحكم قبل سببه


Tidak boleh mendahulukan zakat sebelum memiliki harta satu nishab, tanpa ada perbedaan pendapat ulama yang kami tahu. Jika ada orang memiliki harta separuh nisab, lalu dia menyegerahkan zakat, atau dia bayar zakat satu nishab, hukumnya tidak boleh. Karena dia mendahulukan hukum sebelum sebab. (al-Mughni, 2/495)


Dalam Ensiklopedi Fiqh juga dinyatakan,


لا خلاف بين الفقهاء في عدم جواز التكفير قبل اليمين ؛ لأنه تقديم الحكم قبل سببه ، كتقديم الزكاة قبل ملك النصاب ، وكتقديم الصلاة قبل دخول وقتها .


Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tidak bolehnya membayar kaffarah sumpah sebelum ada sumpah, karena berarti mendahulukan hukum sebelum ada sebabnya. Seperti mendahulukan zakat sebelum memiliki satu nishab, atau mendahulukan shalat sebelum masuk waktunya. (al-Masusu’ah al-Fiqhiyah, 35/48)


Kami tegaskan ulang, kesimpulan bahwa membayar zakat sebelum nishab, zakatnya tidak sah. Tidak sah dalam arti tidak terhitung sebagai zakat. Meskipun dia mendapat pahala sedekah dari harta yang dia berikan ke fakir miskin.


Kasus Zakat Bulanan


Ketika si A memiliki gaji 5 jt/bulan, secara perhitungan, dalam setahun pemasukan si A senilai 60 jt. Nilai ini di atas satu nishab. Apakah si A wajib zakat?


Bahwa yang dihitung dari zakat adalah tabungan, akumulasi uang mengendap, dan bukan akumulasi pemasukan. Pemasukan si A 5jt/bln. Tapi jika dikurangi biaya hidup dan semua pengeluarannya, si A hanya menyisakan Rp 1 jt yang bisa ditabung.


Jika penghasilan si A hanya ini, sementara dia tidak punya tabungan, maka si A tidak wajib zakat. Dalam waktu setahun, tabungan si A baru terkumpul 12 jt.


Itu artinya, jika si A membayar zakat 2,5% dari sejak dia mendapatkan gaji di bulan pertama, berarti si A membayar zakat sebelum memiliki harta satu nishab. Dan tentu saja, tidak sah sebagai zakat, meskipun dia mendapat pahala sedekah.


Jika kita asumsikan kondisi si A selalu stabil, maka dia baru memiliki harta 1 nishab, setelah kurang lebih 3,5 tahun bekerja. Sehingga si A memiliki tabungan 43 juta. Di titik itu, si A baru memiliki harta satu nishab. Tapi si A belum diwajibkan bayar zakat. Sampai uang itu mengendap selama setahun.


Sisi Negatif  Zakat Profesi


Fokus di pertanyaan.


Masyarakat menganggap model zakat semacam ini dengan zakat profesi. Setidaknya ada 2 konsekuensi buruk ketika zakat profesi diterapkan,


[1] Orang yang belum memiliki harta sebesar nishab, membayar zakat. Padahal itu zakat sebelum ada sebabnya. Dan ulama sepakat, zakatnya tidak sah.


[2] Muncul anggapan tidak lagi wajib zakat karena sudah dikeluarkan zakat profesinya setiap bulan ketika menerima gaji. Padahal dia punya tabungan di atas nishab tersimpan tahunan, yang seharusnya itu dizakati.


Dari kasus si A. Dengan asumsi penghasilan si A tetap, mungkin di tahun keempat, si A tabungannya menjadi 48  jt. Di atas nishab. Tapi si A merasa dia sudah zakat, sehingga tidak bayar zakat lagi. Padahal tabungan itulah yang seharusnya dizakati.


Menurut mayoritas para ulama kontemporer bahwa zakat profesi tidak dikeluarkan pada saat diterima akan tetapi digabungkan dengan uang yang lain yang mencapai nishab dan mengikuti haulnya (berlalu 1 tahun qamariyah).


Pendapat ini juga merupakan hasil keputusan muktamar zakat pertama se-dunia di Kuwait pada tahun 1984, yang berbunyi,


”Zakat upah, gaji dan profesi tidak dikeluarkan pada saat diterima, akan tetapi digabungkan dengan harta yang sejenis lalu dizakatkan seluruhnya pada saat cukup haul dan nishabnya.”


Kisah: Penghasilan Milyaran, Tidak Wajib Zakat


Berpenghasilan besar, belum tentu mendapat kewajiban zakat. Karena zakat hanya dibebankan untuk orang yang memiliki harta mengendap satu nishab selama setahun.


Meskipun seseorang memiliki harta di atas satu nishab, namun habis sebelum satu tahun, dia tidak wajib zakat.


Dulu ada ulama besar yang Allah berikan kekayaan melimpah, namun beliau tidak pernah berzakat. Karena hartanya habis sebelum genap setahun. Beliau adalah al-Laits bin Sa’d rahimahullah.


Qutaibah menceritakan,


كان الليث يستغل عشرين ألف دينار في كل سنة وقال ما وجبت علي زكاة قط


Penghasilan Al-Laits mencapai 12.000 dinar dalam setahun. Dan beliau mengatakan, “Aku tidak pernah mendapat kewajiban zakat.”


12.000 dinar itu berapa rupiah?


25.500.000.000. Biar gampang bacanya, kita ringkas: 25 M + 500 jt.


Mengapa beliau tidak pernah zakat?


Uang itu habis sebelum haul.


Beliau pernah memberikan 1000 dinar ke Manshur bin Ammar,


1000 dinar kepada Ibnu Lahai’ah (seorang ulama hadis).


500 dinar kepada Imam Malik, dst.


dan masih banyak lagi yang belum tercatat.


Allahu a’lam.


Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Read more https://konsultasisyariah.com/28026-zakat-yang-tidak-sah.html

SAYANGI ISTRI DENGAN TULUS KARENA ALLOH


Dalam Islam, doa seorang istri menjadi salah satu doa yang paling dijabah atau dikabulkan. Keajaiban doa istri mampu membawa kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.


Hal ini pernah dinyatakan oleh Rasulullah SAW yang mengatakan,


“Sesungguhnya doa yang segera dikabulkan adalah doa seorang istri kepada suaminya yang tidak berada di tempat yang sama atau saling berjauhan.” (HR. Tirmidzi).


Di balik kesuksesan seorang suami, pasti ada istri yang selalu mendampingi dan membantunya, baik lewat sebuah doa atau yang pelayanan istri lainnya termasuk kesabarannya menghadapi ke egoan seorang suami


Doa seorang istri adalah doa yang mustajabah (segera terkabul). Maka, bukan tidak mungkin saat suami mencari rezeki dengan keikhlasan dan keridhoan dari istri, akan terbuka pintu rezeki untuknya.


Bukan tidak mungkin saat dalam mencari nafkah terdapat suatu masalah dalam pekerjaan. Namun, masalah tersebut akan terasa lebih ringan bahkan lebih cepat selesai berkat doa yang selalu dipanjatkan seorang istri.


Pembuka Pintu Kesuksesan Baik di Dunia Maupun di Akhirat adalah saling berkasih sayang dengan istri (mawadddah warahmah)

jauhilah pertikaian bermusyawarahlah dgn istri dengan penuh kelembutan dan hargailah pendapatnya sekalipun terkadang tidak sesuai dgn kehendak suami 


Alloh menjadikan hidup berpasangan adalah untuk saling berkasih sayang dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Alloh 


Firman Allah SWT


“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu seorang istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya rasa diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnyaapa yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi mereka kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum : 21).


Dari penggalan ayat ini, laki-laki yang sholeh tentu telah disediakan wanita yang shalehah untuknya.


Istri yang shalehah akan mengantarkan kebaikan dalam kehidupan suaminya, baik untuk kesuksesan dunia maupun di akhirat kelak.


Sobat, istri shalihah adalah penyempurna bagi suami, mereka tercipta untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan hargai dan hormati istri dgn penuh kasih sayang agar rumah tangga di penuhi cahaya keberkahan


Sobat, kesuksesan Rasulullah SAW dalam berwirausaha tidak hanya sekadar dalam bentuk materi, namun juga kerberkahan rezeki yang diperoleh dan mengikat erat tali kasih sayang yang tulus pada istri dan persaudaraan yang kuat antar Muslim Walloa'lam.

Thursday, 1 October 2020

UMMI SANG MUJAHID !

 Teruntuk Ibu para Mujahid, lalu Istriku, serta seluruh Wanita Kaum Muslimin hafizhakumullah, bacalah dengan sepenuh hati ! 

-----------------------------------------------------------


UMMI SANG MUJAHID !


(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI'IN)


--Al-Akh Yahya Al-Windany (Penuntut Ilmu di Darul Hadits Fuyus,Yaman)--

--------------------------------------------------------------


Hari itu, di salah satu sudut Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.


Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.


Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad.


"Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu," tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.


"Ya," jawab Abu Qudamah.


Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.


Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan.


Ku buka ternyata seorang perempuan.


"Engkaukah Abu Qudamah?" tanyanya.


"Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?" pertanyaannya yang kedua.


"Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.


Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.


Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.


Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya," ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.


Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan "iya".


"Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya.


Ia telah menghapal Al-Qur'an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari.


Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala," kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.


Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya.


"Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang," pintanya tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.


Aku pun segera meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.


Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca.


Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.


"Abu Qudamah!" serunya.


"Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu."


Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan, "tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini."


Dia mendekat dan memelukku.


"Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal," ucapnya


"Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu," pintaku.


Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan.


"Kawan, apakah engkau memiliki Abi?" tanyaku.


"Justru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi," jawabnya.


"Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah beliau. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, jannah di bawah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu."


"Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku."


"Tidak."


"Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu"


Aku, insya Allah, adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut berjihad fi sabilillah bersamamu.


Aku telah menyelesaikan Al-Qur'an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah.


Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia.


Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan; Nak, jika kau telah melihat musuh, jangan pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh di jannah. Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi syafa'at. Aku pernah mendengar faedah bahwa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang tetangganya.


Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit;


Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku.. aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya," terang sang pemuda


Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku. Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku tersedu-sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda, namun begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan kalbu sang ibu. Betapa sabarnya ia.


Melihatku menangis, sang pemuda bertanya, "Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat !?"


"Bukan," aku segera menyanggah.


"Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?"


Akhirnya aku menerimanya sebagai bagian dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu berdzikir kepada Allah Ta'ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah, semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya.


Kami terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas. Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk terbenam.


Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan. Memang, hari itu kami berpuasa. Dan dikarenakan hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan selama perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan. Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya dan membiarkan si pemuda tidur.


Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang menghiasi wajahnya. "Lihatlah, ia tersenyum!" kataku pada teman keheranan.


Setelah bangun, aku bertanya padanya, "kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?"


"Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia," jawabnya.


"Ceritakanlah padaku!" pintaku penasaran.


"Aku seperti di sebuah taman hijau nan permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku untuk berjalan-jalan.


Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan istana perak, balkonnya dari batu permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari emas.


Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku dari bagian dalam istana. Namun tak lama, keluarlah gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya. Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, amboi cantiknya.


"Marhaban," kata salah seorang dari mereka tahu ku memandanginya.


Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata, "Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru."


Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, "Ini suami Al Mardhiyah."


Mereka berkata kepadaku, "kemarilah, yarhamukalloh."


Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.


Mereka membawaku ke atas istana. Di sebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yang berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih.


Dan diatasnya. . .


seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!! Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya!!


"Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu" katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.


"Sebentar. Janganlah terburu-buru. Belum waktunya.


Aku berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah," sang pemuda mengakhiri kisahnya.


Lalu, aku berusaha membangkitkan himmahnya, "Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya,"


Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.


Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.


Semangat pun semakin berkobar saat mendengar hasungan, "wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat."


Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana.


Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin. Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.


Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda itu. Iya, dimana pemuda itu...


Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di tengah medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyibak skuadron kuffar dan memporak porandakan barisan mereka.


Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar.


Namun begitu, tetap saja hati ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.


"Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran. Kembalilah ke belakang," teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.


"Paman, tidakkah kau membaca ayat {{ wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang }} [Al Anfal:15]. Sudikah engkau aku masuk neraka ?" serunya menimpali.


Saat kucoba memahamkannya, serbuan kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin bergejolak.


Dalam kancah pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah.


Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau anyir darah tercium dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah.


Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.


Saat perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh. Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.


Dimana sang pemuda ?


Aku terus melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih, ”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”


Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan. Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu. Hampir aku tak mengenalnya.


Aku segera mendatanginya. "Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!" isakku tak kuasa menahan tangis. Aku sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah polosnya.


"Paman, demi Rabb ka'bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah putra ibu pemilik rambut kepang itu. Aku telah berbakti padanya, ku kecup keningnya dan ku hapus debu dan darah yang terkadang mengalir di wajahnya," kenangnya. Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.


"Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa'at nanti di hari kiamat."


"Orang sepertimu tak kan pernah kulupakan."


"Jangan!" serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya. "Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman.


Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya; sayang, bersegeralah. Aku rindu.


Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan petuahnya. Juga agar beliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah.


Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan.


Saat ku meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali. "Kak, cepat pulang, ya." Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telingaku.


Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari kiamat, " kata-katanya terus membuat air mataku meleleh. Menetes dan terus menetes membuat aliran sungai di pipi.


"Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang djanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya," itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya.


Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.


Aku harus segera ke Recca, tekadku.


Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.


Celakanya aku, aku belum mengetahui nama si pemuda dan di mana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap sudut, gang dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis mungil. Wajahnya bersinar mirip si pemuda.


Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya, “Paman, anda datang darimana?” “Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu. “Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya “Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil berlalu.


Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang dari mana?” “Aku datang dari jihad,” jawabnya. “Kakakku ada bersamamu?”, tanya gadis itu. “Aku tak kenal, siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.


Gadis itu pun tak bisa menahan rindu kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,"mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?”


Aku iba kepadanya. Ku coba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.


"Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang."


Mendengar suaraku, sang ibu keluar.


"Assalamu'alaiki," salamku.


"Wa'alaikum salam," jawabnya.


"Engkau ingin memberiku kabar gembira atau berbela sungkawa?" lanjutnya.


"Maksud, ibu ?"


"Jika putraku datang dengan selamat, berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid, berarti engkau kemari membawa kabar gembira," terangnya.


"Bergembiralah. Allah telah menerima hadiahmu."


Ia pun menangis terharu.


"Benarkah?"


"Iya."


Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.


"Alhamdulillah. Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di hari kiamat," pujinya kepada Zat Yang Maha Kuasa.


Para sahabat Abu Qudamah mendengarkan kisahnya dengan penuh kekaguman.


"Lalu gadis kecil itu bagaimana?" tanya salah seorang dari mereka.


"Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya, "Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti"


Tiba-tiba dia menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sadarkan diri. Dan setelah itu nyawanya tiada.


Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar atas semua musibah yang menimpanya.


Aku benar-benar terharu melihat kejadian ini. Aku serahkan padanya sekantong uang, berharap bisa mengurangi bebannya.


Sang ibu pun melepas kepergianku. Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis kecil itu kepada kakaknya...(SELESAI)


----------------------------------------------------------------


Ya Rohman Ya Rohiim


Kabulkanlah seuntai do'a kami. Memang terasa berat meniti jalan jannah-Mu. Syahwat yang selalu menyambar, Syubhat yang terus menghantam, setan yang tak pernah menyerah dan nafsu jahat yang senantiasa memberontak. Sedangkan kalbu ini lemah, ya Rabb.


Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah kami ini berislam. Tidak pula mengerjakan sholat, tidak pula bersedekah.


Teguhkanlah kaki kami di atas jalan-Mu ini !


-------------------------------------------------------


Diterjemahkan dengan beberapa editing tanpa merubah tujuan dan makna dari Kitab 'Uluwwul Himmah indan Nisaa', 212-217.

Lihat juga:

1. Masyari'ul Asywaqi ila Mashori'il Usysyaqi: 1/285-290.

2. Sifatush Shofwah: 2/369-370

3. Tarikh Islam: 1/214-215

-------------------------------------------------------


Semoga Bermanfaat ! Baarakallahufiykum.


[Andri Maadsa Abu Umar hafizhahullaah]